Selamat berjumpa kemabli,
Setelah sekian kali posting, materi yang dibahas masih sekitaran materi untuk adik-adik pelajar, sekarang saya akan memposting materi yang hanya dibahas pada bangku perkuliahan Bahasa dan Sastra Indonesia. Materi Folklor ini sebenarnya membahas tentang seputaran dongeng yang juga ada pada materi adik-adik SMP, namun pada folklor tidak hanya membahas cerita dongeng saja, namun membahas detail tentang folklor tersebut.
Sejarah Folklore
Hikayat, dongeng, tahyul, cerita-cerita rakyat, mitos, legenda
sering kita dengar penuturannya ketika kita masih kecil dan bahkan menginjak
dewasapun kondisi tersebut masih terus berlangsung, dan sering juga berkembang
cerita-cerita baru hasil perkembangan cerita lama dan kadang di’pleset’kan
dalam bentuk jenaka. Perkembangan alur cerita yang disesuaikan dengan
perkembangan teknologi sehingga bentuk penyampaiannya mengalami perkembangan
mengikuti perkembangan kebudayaan dan pola hidup yang ada. Kesemuanya tersebut
erat kaitannya dengan kesukubangsaan dan masyarakat tradisional, padahal dalam
kenyataannya tidaklah terbatas pada masyarakat tradisional saja tetapi juga
berlaku pada masyarakat sekarang, masyarakat perkotaan.
Adanya sindiran-sindiran, ungkapan-ungkapan, mitos, legenda pada
masayarakat di pedesaan dan bahkan pedalaman dan juga masyarakat perkotaan
sering kita dengar. Apalagi pada komuniti jasa seperti kehidupan korporat,
banyak anekdot-anekdot, sindiran-sindiran, ceritera-ceritera tentang atasan
yang diciptakan oleh para bawahannya (buruh), dan biasanya sindiran terhadap
para atasan yang dianggap kurang berkenan bagi para karyawannya.
Kesemua hal tersebut adalah bagian dari apa yang disebut folklor,
fenomena-fenomena ini sejak dahulu memang telah dipelajari dan dicari makna
serta simbol-simbol dari adanya hal tersebut, apa maksudnya bagi masyarakat.
Memang perkembangan dari folklor tidak lepas dari manusia itu sendiri dalam
kehidupannya bermasyarakat, artinya tidak akan lepas dari adanya budaya dari
manusia sebagai mahluk sosial.
William Thoms adalah pencetus pertama kali istilah folklor, dia
menyatakan dalam suratnya kepada The Athenaeum sebuah jurnal tentang
sebuah artikel yang sengaja diajukan sebagai tulisan artikel tentang Saxon
dengan judul ”good Saxon coumpound, Folklore”. Dalam tulisan tersebut William
Thoms menggunakan nama Ambrose Merton. Kemudian jurnal tersebut menempatkan
tulisan William sebagai Antik Populer dan tulisan populer, tulisan ini diajukan
pada tahun 1846. dalam tulisan tersebut, William Thoms memaparkan beberapa
konsepsi tentang folklor yang menyangkut perbuatan, adat, balada, ketaatan,
ketahyulan, pepatah, hikayat, taboo, larangan.
Para pembaca jurnal ketika itu mencoba untuk mempertentangkan
perhatian mereka terhadap surat dari William Thoms, khususnya tentang waktu
yang dibuat oleh William Thoms. Untuk penelitian dan studi tentang materi dari
folklor itu sendiri pada dasarnya telah dipelajari sebagai bagian dalam
penelitian tentang etnografi, akan tetapi dilakukan dengan sangat kaku pada
masa lalu. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat seperti tulisan dari Grimm
bersaudara yang menulis tentang ”household tales” yang pertama kali
muncul tahun 1812, jauh sebelum William Thoms menulis surat. Selama pertengahan dan akhir
abad ke sembilan belas, dan pada awal abad ke dua puluh disiplin folklor mulai
dibangun. Pertumbuhan perhatian terhadap folklor lebih dipengaruhi oleh arus
kelompok romantisme dan nasionalisme intelektual di pertengahan abad ke 19.
artinya bahwa perkembangan folklor tersebut mendapat pengaruh dari suasana
politik dan kondisi sosial masyarakat ketika itu yang sudah bergeser kearah
hukum-hukum positif.
Alan Dundes (1965: 1-2) menyatakan bahwa
perdebatan tentang folklor telah berlangsung lama sejak kata tersebut
diciptakan oleh William Thoms pada tahun 1846. Menurutnya, kebanyakan ahli
lebih tertarik pada pendefinisian kata folklore yang lebih mengarah pada
kata lore, dan hanya sebagian kecil ahli saja yang tertarik pada kata folk.
Menurut para ahli itu sendiri dinyatakan bahwa kata lore lebih mengarah
pada bentuk benda-benda (material) dari folklor atau benda-benda serta
berorientasi pada orang-orang yang menggunakan benda-benda tersebut, dan
istilah lore tersebut mempunyai makna yang sudah dideskripsikan dalam
istilah yang dikemukakan oleh komuniti asli, bentuk folklornya, transmisi
pembentukkannya dan fungsi dari folklor itu sendiri di dalam kehidupan komuniti
asli.
Bahkan dibanyak komuniti, folklor ditanggapi
sebagai ilmu tentang dongeng, atau tari-tarian rakyat, sehingga apabila kita
menyaksikan pertunjukkan tari-tarian rakyat sering diberi judul sebagai
folklor. Atau bentuk-bentuk seni yang bersifat tradisional disebut sebagai
folklor, bagi sebagian ahli ilmu sosial khususnya Eropa istilah folklor hanya
diperuntukkan bagi masyarakat-masyarakat yang tidak mengenal tulisan (Dundes
1965), akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, masyarakat yang mengenal
tulisanpun juga mempunyai folklor. Intinya adalah bahwa folklor dikatakan
sebagai suatu bentuk peruwujudan oral yang akan diulang-ulang sehingga berpola
dari masa ke masa.
Pada masa sekarang, folklor begitu berkembang
dengan jatidirinya sebagai sebuah ilmu yang sulit dikelompokkan dalam bidang
tertentu, seperti halnya linguistik. Folklor dipelajari sebagai bagian dalam
kajian sastera atau termasuk dalam fakultas sastera dan banyak dipelajari oleh
filologi, dipihak lain dipelajari sebagai ilmu sosial dan ini menjadi telaahan
dari antropologi, khususnya antropologi budaya. Sehingga folklor berdiri dalam
dua bidang besar keilmuan humaniora dan sosial.
Folklor masa sekarang sudah juga dapat
dipakai untuk menelaah keadaan sosial masyarakat, khususnya masyarakat
perkotaan dan digunakan juga menganalisa perkembangan politik masyarakat atau
bahkan negara ketika tokoh-tokoh politik banyak dipakai dalam anekdot-anekdot
yang berkembang sebagai dampak dari tindakan tokoh politik yang tidak populer
di masyarakat. Dengan semakin besarnya kemungkinan masing-masing komuniti
dengan kebudayaannya yang berbeda untuk saling bertemu, maka banyak
anggapan-anggapan yang muncul terhadap masing-masing komuniti tersebut
berkaitan dengan tingkah lakunya yang dianggap berbeda, dan seiring dengan
munculnya anggapan-anggapan tersebut maka muncul pula folklor terhadap komuniti
lain tersebut yang umumnya berupa anekdot-anekdot tentang kelompok sosial lain.
Disamping itu perkembangan folklor menjadi
lebih rinci lagi dengan adanya kategorisasi jenis-jenis folklor yang ada,
seperti adanya dongeng, kesusasteraan suci, upacara, mitos, legenda, gosip,
teka-teki, permainan rakyat, kesenian rakyat dan seterusnya yang masing-masing
terbagi-bagi dalam karakteristik bentuknya. Ada juga yang termasuk dalam
konteks kontemporer, permanen dan lainnya, seperti isu-isu atau gosip termasuk
dalam kategori kontemporer yang mungkin hanya dapat tumbuh dalam jangka waktu
yang sebentar.
Bahkan sebelum berkembangnya ilmu sosial lain
seperti antropologi dan sosiologi, folklor digunakan untuk menganalisa apakah
suatu kelompok sosial mempunyai ikatan di dalam kelompoknya atau berusaha
memahami kelompok di luarnya. Seperti menganalisa sifat nasionalisme suatu
kelompok, ini terkait dengan batasan budaya yang ada dalam kelompok tersebut.
Seperti misalnya ketika orang Jawa bertemu dengan orang Jawa lainnya dan orang
Jawa lainnya bertingkah laku tertentu sehingga dianggap sebagai orang Jawa yang
tidak Jawa (ora nJawani). Tingkah laku yang diwujudkan tersebut yang dianggap
tidak orang Jawa sangat sulit dijelaskan dan hanya dapat dirasakan oleh sesama
orang Jawa. Atau menganggap tingkah laku orang tertentu dikaitkan dengan suatu
daerah tertentu di wilayah kelompok sosial tersebut yang dianggap terlalu
pedesaan, seperti ’Belanda Depok’ untuk menggambarkan seseorang dengan
ciri-ciri seperti orang Bule (Belanda), rambut pirang, badan tinggi dst. Tetapi
tingkah laku yang diwujudkan serta gaya bicara seperti orang pedesaan di
Indonesia (udik), istilah ini khusus untuk kelompok orang-orang Betawi.
Apa itu Folklor?
Apabila kita mendengar kata folklor maka yang
menjadi acuan dari kata tersebut adalah dongeng, gosip, benda-benda seni,
nyanyian atau tari-tarian yang mengandung sebuah atau beberapa jalan ceritera.
Atau sering diacu sebagai pengelompokkan dari gambaran dongeng-dongeng,
mitos-mitos, puisi-puisi, nyanyian-nyanyian yang bersifat rakyat. Sehingga
apabila kata folklor diperdengarkan maka yang ada adalah sebuah paparan yang
bersifat tradisional dan kerakyatan. Sehingga secara sekilas tidak akan ada
bedanya dengan istilah kebudayaan.
Kebudayaan seperti yang didengungkan oleh
orang kepada kita, maka yang terbayang adalah sebuah tradisi, seni, adat
istiadat, kebiasaan, tari-tarian yang bersifat kuno tapi masih digunakan dan
bersifat kedaerahan atau desa. Atau sering juga dipahami sebagai sebuah
perkembangan pemikiran dari yang sederhana menjadi modern dan dari yang
sederhana menjadi kompleks. Sehingga untuk menggambarkan kebudayaan masyarakat
masa kini di perkotaan mempunyai istilah khusus seperti budaya kota, budaya
masa kini, budaya modern dan seterusnya sebagai lawan dari tradisional.
Jelasnya yang tradisional sudah tentu mempunyai makna budaya, sedangkan yang
modern belum dapat dikatakan sebagai sebuah budaya suatu daerah. Sehingga bagi
nyanyian atau tarian yang bersifat perkotaan atau modern secara awam belum juga
dapat diistilahkan sebagai folklor.
Pada dasarnya kata folklor itu sendiri sedang
dan masih dalam proses perdebatan sebagai perpaduan antara folk dan lore.
Para ahli sendiri juga sering mempermasalahkan mana yang folk dan mana
yang lore, akan tetapi pada dasarnya sekarang sudah tidak menjadi
hambatan lagi apapun bentuknya yang jelas dua kata tersebut menjadi sebuah kata
yang bermakna kasatuan dari sub-sub kegiatan lainnya seperti dongeng, hikayat,
seni rakyat dan sebagainya. Kesemuanya adalah bentuk-bentuk folklor apakah
tumbuh dan berkembang di daerah pedesaan, sukubangsa tertentu ataukah di perkotaan
pada komuniti tertentu yang bisa berbeda-beda sukubangsa.
Tidak hanya para ahli folklor dari beberapa
negara saja yang sering memperdebatkan istilah tersebut, bahkan para ahli
folklor dari satu negarapun masih banyak perbedaan tentang konsep dan istilah
untuk folklor. Akan tetapi pada dasarnya terdapat benang merah yang sama yaitu
pada kriteria umum yang mengarah pada pendefinisian tentang pengertian dari
transmisi folklor, dan secara spesifik folklor dikatakan sebagai suatu
aktivitas kebiasaan sehari-hari dan berpola yang terjadi dalam tradisi oral.
Kriteria yang dikemukakan ini pada dasarnya
belum mencapai kejelasan tentang kajiannya yang spesifik dan masih akan
mendapatkan kesulitan pada masalah teoritis. Kesulitan pertama adalah bahwa
pada kebudayaan masyarakat yang tidak mengenal tulisan, hampir semua tindakan
yang diwujudkan dan cara-cara tindakan yang ditransmisikan, dilakukan oleh
warga masyarakat tersebut secara oral; misalnya pada bentuk masyarakat atau
komuniti berburu meramu, selain dari bahasa, teknik berburu, dan aturan
perkawinan pada dasarnya telah dilalui secara oral dari generasi ke generasi
(vertikal) dari satu orang ke orang lain (horizontal) serta pada
aktivitas-aktivitas lainnya. Kemudian beberapa ahli folklor menyatakan bahwa
pada tipe-tipe masyarakat yang seperti ini semua aktivitas dan kebudayaan
materi yang dihasilkan dari bentuk masyarakat tersebut adalah dapat dikatakan
termasuk juga sebagai bagian dari folklor, artinya benda-benda dari hasil
tingkah laku manusia dalam rangka kesesuaiannya dengan lingkungan disebut juga
sebagai benda-benda folklor. Hal ini berkaitan dengan penggunaan dan pembuatan
benda-benda budaya tersebut dilakukan transmisinya secara oral, imitasi dan
tidak dengan tulisan, karena masyarakat atau komuniti yang bersangkutan tidak
mengenal tulisan.
Juga sama kejadiannya pada kebudayaan
masyarakat yang mengenal tulisan, beberapa informasi dan kebiasaan sehari-hari
ditransmisikan secara oral seperti bagaimana mengendarai traktor, bagaimana
untuk menyikat gigi, bagaimana bersikap sopan terhadap orang tua, serta
kegiatan lainnya, tetapi secara ordinari tidak dianggap sebagai folklor. Hal
ini berkaitan dengan bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang mengenal
tulisan, yang walaupun demikian masih tetap terdapat tradisi oral dalam
penyampaian yang berkenaan dengan aktivitas tertentu sehari-hari yang harus
dilakukan.
Kedua, terdapat beberapa bentuk folklor yang
diwujudkan dan dikomunikasikan secara tertulis dan ini berlawanan dengan
istilah folklor yang ditransmisikan melalui bentuk oral. Bentuk-bentuk
transmisi secara tertulis ini ada pada seperti tulisan tangan, tulisan di batu,
tulisan-tulisan tradisional yang merupakan ciri dari aksara budaya setempat.
Pada bentuk masyarakat yang mengenal tulisan ini, banyak pesan-pesan yang
dianggap sebagai folklor dibentuk dalam wujud materi, seperti tulisan-tulisan
dalam aksara tertentu dengan menggunakan sarana tertentu seperti
tulisan-tulisan dengan huruf Jawa kuno, atau Bali pada daun lontar, benda-benda
dengan ornamen tertentu seperti bentuk-bentuk ukiran dan juga motif kain dalam
suatu kegiatan tertentu.
Dalam praktek nyata seorang ahli folklor yang
profesional tidak terlalu jauh untuk mengatakan bahwa folktale atau
balada bukanlah folklor sebab kadang-kadang alur sejarah kehidupan
ditransmisikan melalui tulisan atau barang cetakan. Argumentasinya bahwa folktale
atau balada tidak pernah dalam bentuk tradisi oral, berarti balada tersebut
dapat dikategorisasikan bukan folklor. Balada tersebut mungkin dapat
dikategorisasikan atau dikelompokkan sebagai produk tertulis yang didasarkan
pada model folk, tetapi ini tidak sama dengan sebagai model itu sendiri.
Kesulitan ketiga berkaitan dengan transmisi
oral. Dalam mentransmisikan secara oral aktivitas tersebut sangat tergantung dan
sangat memperhitungkan pada gerakan tubuh dari orang yang mentransmisikan; ini
semua dapat ditunjukkan dalam tarian rakyat, permainan rakyat, dan gerak
isyarat yang terdapat pada aktivitas itu sendiri. Seperti seorang anak akan
menerima bentuk-bentuk gerakan hanya dari observasi dan juga partisipasi ketika
anak tersebut sedang belajar menari atau sedang melakukan aktivitas bermain
yang didasari pada kebudayaan dari masyarakat dimana si anak sebagai
anggotanya. Atau ketika jari telunjuk ditempelkan ke bibir maka makna dari
aktivitas tersebut adalah jangan bicara atau jangan berisik, atau menyuruh
diam. Aktivitas sosialisasi dalam bentuk-bentuk oral dan kinetis ini pada
dasarnya sangatlah umum dan sesuai dengan kondisi usia dari anak (immitation)
akan tetapi masing-masing budaya masyarakat akan bersifat spesifik dan khusus.
Masalah yang sama juga dapat ditemui pada
bentuk-bentuk seni rakyat, sebagai simbol-simbol tradisi, yang ditularkan dari
individu ke individu secara langsung dan ada juga yang tidak secara langsung.
Beberapa contoh dalam proses ini adalah seperti melalui hasil seni yang
dipertunjukkan oleh seorang artis, dalam kegiatan tersebut artis mengkopi
gerakan atau disain yang ada secara tradisional yang dipelajarinya di pedesaan
atau di orang awam dan kemudian dilakukan secara lebih terfokus dengan beberapa
penambahan dalam bentuk kostum serta beberapa orang dan penambahan gerakan
secara lebih artistik dan kemudian mempopulerkannya. Sehingga bentuk-bentuk ini
menjadi sangat berbeda dari bentuk awalnya yang hidup dalam suatu lingkungan
tertentu.
Dalam kasus pertunjukkan tersebut, sangat
berkaitan dengan teori dalam folklor yang menjelaskan masalah esoteric
dan exoteric. Ini sangat berkaitan dengan rasa dari aktivitas folklor
yang dipertunjukkan tersebut, esoteric mempunyai makna lebih ke dalam
artinya penghayatan tentang fungsi aktivitas tersebut terhadap pranata sosial
lain dalam komuniti setempat, bagaimana mereka (si pelaku) menghayati perannya
dan kebutuhannya akan aktivitas yang dilakukannya dalam masyarakat
pendukungnya.
Sedangkan exoteric menggambarkan bahwa
kegiatan yang dilakukannya tersebut bukan untuk dirinya saja tetapi berfikir
kepada diri orang lain, masyarakat lain, komuniti lain. contoh dalam hal ini
adalah bagaimana beberapa orang penduduk dari Indramayu melakukan perayaan
kegiatan upacara pesta setelah mereka berhasil dalam panen yang ada di
lingkungannya bersama dengan seluruh penduduk setempat, dibandingkan dengan
beberapa orang Indramayu melakukan pertunjukkan upacara panen padi di sebuah
gedung kesenian dengan melibatkan penonton yang berasal dari berbeda komuniti.
Atau dengan kata lain, esoteric lebih
menekankan pada bentuk fungsi dari kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat
terhadap pranata lainnya dalam kebudayaan yang bersangkutan, artinya mempunyai
makna simbol yang saling terkait dengan simbol budaya lainnya dalam masyarakat.
Sedangkan exoteric lebih menekankan pada segi satu pranata sosial saja
dengan fokus pada komuniti lain (dalam hal ini penonton), sehingga fungsi
secara budaya tidak tampak. Atau dalam benda-benda seni dapat juga mempunyai
makna esoteric dan exoteric seperti patung kayu yang dibuat oleh
orang Bali, walaupun dari jenis kayu yang sama dan bentuk patung yang sama
tetapi yang satu untuk diperjual belikan dan yang lainnya untuk digunakan
secara religious.
Cara-cara sosialisasi folklor lebih mengarah
pada oral yang sangat mementingkan bahasa dan juga gerak tubuh, mimik muka dan
gaya lainnya dari penutur aktif tradisional terhadap anggota masyarakat
lainnya, sehingga dengan demikian gerak-gerak budaya yang berupa tingkah laku
budaya dapat tersosialisasi dengan seutuhnya. Ini dapat disebut sebagai suatu
bentuk komunikasi non-verbal, dan komunikasi non-verbal ini pada dasarnya
menjadi kunci dari adanya sosialisasi folklor yang juga bersifat oral.
Komunikasi non-verbal merupakan jenis
komunikasi yang melibatkan postur tubuh, gerakan-gerakan, ekspresi wajah,
kebiasaan berjalan dan lain-lain, yang dilakukan setiap hari untuk menyampaikan
perasaan tentang diri sendiri maupun orang lain, baik secara sadar maupun tidak
sadar. Orang dapat lebih mengerti apabila dalam percakapan menggunakan
gerakan-gerakan tubuh. Berbicara dan mendengar merupakan dua hal yang saling
berkaitan di mana seseorang tidak dapat melakukannya tanpa ada orang lain.
Dalam seluruh bentuk percakapan, pendengar
biasanya menguatkan pembicara, baik secara positif maupun negatif. Pendengar
biasanya dapat mengarahkan percakapan tanpa menyadarinya, misalnya dengan
tertawa atau mengerutkan dahi atau juga menolak argumentasi pembicara dengan
menggerakkan telapak tangannya, sehingga diperlukan suatu sorotan mata atau
gejala-gejala bahasa yang dikuatkan oleh adanya gerakan mata.
Bahasa mata secara samar dan kompleks
merupakan cara tertua dalam menyampaikan perasaan kita. Yang berbeda bukan saja
menunjukkan cara yang dilakukan oleh pria maupun wanita, tapi juga
memperlihatkan perbedaan-perbedaan kelas, generasi, regional, serta budaya etnik
dan nasional. Dalam menganalisis bahasa mata dalam berkomunikasi,
sekurang-kurangnya ada tiga hal yang ingin diperlihatkan: (1) mendominasi –
patuh (2) keterlibatan – tidak terpengaruh (3) sikap positif – sikap negatif.
Selain itu, terdapat tiga tahap kesadaran dan kontrol, yang dapat
dikategorisasikan sebagai berikut.
·
Penggunaan
mata secara sadar untuk berkomunikasi. Kategori yang sangat luas dari perilaku
yang tidak disadari namun dipelajari memerintahkan kemana dan bila kedua mata
diarahkan
·
Respon
yang ditunjukkan oleh mata yang bukan bagian dari kesadaran dan kontrol itu
sendiri, misalnya perubahan-perubahan dalam kedipan mata dan gerakan reflek
pupil mata.
Bagaimana manusia mempelajari bahasa tubuh?
Sama halnya dengan cara kita mempelajari bahasa ucapan atau verbal, yaitu
dengan mengamati dan mengimitasi atau meniru orang-orang di sekitar yang tumbuh
dan berkembang secara bersama, sehingga bahasa yang diucapkan akan bertambah
maknanya dengan gerakan-gerakan anggota tubuh termasuk panca indera. Perilaku
tubuh menunjukkan jenis regional, kelompok dan pola-pola etnik dipelajari sejak
kecil dan bertahan dalam kehidupan manusia, ini terkait erat dengan tingkah
laku individu merupakan wujud nyata dari kebudayaan yang dipunyainya sebagai
bagian dari masyarakat secara luas karena individu sebagai anggota masyarakat
tentunya akan terikat dengan pengetahuan budaya yang menjadi pedoman bagi
masyarakat tersebut, sehingga kebudayaan yang ada dalam benak individu dapat
dikatakan sebagai pengetahuan budaya, sehingga dengan demikian pemahaman bahasa
akan lebih kentara dan dapat sesuai dengan sasaran.
Bahasa atau perilaku tubuh sangat berbeda
dari satu budaya dengan budaya lainnya. Bahasa tubuh yang dapat
diinterpretasikan secara berbeda misalnya: sikap kaki saat duduk,
mengindikasikan seks, status dan kepribadian serta memperlihatkan apakah
seseorang menghargai atau tidak menghargai orang yang berbicara dengannya; cara
berjalan, yang mengindikasikan status, penghargaan, perasaan dan pertalian
etnik atau budaya. Komunikasi yang melibatkan gerakan-gerakan tubuh, ekspresi
wajah, postur tubuh dan cara berjalan bukan hal-hal yang baru. Komunikasi
tersebut sering digunakan oleh para aktor, penari, penulis dan psikiater. Hal
ini juga membuat para ilmuwan termotivasi untuk membuat pengamatan-pengamatan
gerakan tubuh yang sistematis. Salah satu pelopornya adalah Ray L. Birdwhistell
yang mengadakan penelitian gerakan tubuh dan menyebutnya sebagai kinesis.
Bahasa perilaku merupakan sesuatu yang sangat
kompleks. Disebabkan oleh kompleksitas itu, usaha-usaha untuk mengelompokkan
dan menggeneralisasikan komunikasi non-verbal merupakan hal yang sia-sia.
Bahasa tubuh bukan sesuatu dalam diri manusia yang bersifat bebas, atau dapat
dilepaskan begitu saja. Lebih dari bentuk superfisial komunikasi yang dapat
dimanipulasi secara sadar, sistem-sistem komunikasi non-verbal dijalin dalam
kepribadian seseorang dan dalam masyarakat (seperti yang dikatakan oleh
sosiolog Erving Goffman). Sistem-sistem komunikasi non-verbal dapat menyebabkan
terjadinya interaksi-interaksi dalam kehidupan sehari-hari antara satu individu
dengan individu yang lain. Sistem-sistem komunikasi juga mempengaruhi bagaimana
seseorang mengekspresikan dirinya sendiri, bagaimana seseorang memperoleh
pengalaman-pengalamannya.
Gerakan reflek pupil mata dan kedipan mata
telah dikenal oleh masyarakat asli Timur-Tengah selama bertahun-tahun. Misalnya
yang dilakukan oleh seorang pedagang yang melihat ke pupil mata pembeli untuk
mengetahui apakah pembeli tersebut benar-benar menginginkan barang yang ia
jual. Fenomen
atau gejala kedipan mata seringkali terjadi pada percakapan di antara dua orang
yang menjalin hubungan cinta. Situasi yang umum juga terjadi di jalan dan
masyarakat. Walaupun terdapat aturan-aturan tertentu tentang perilaku gerakan
mata, namun aturan-aturan tersebut bervariasi sesuai dengan tempat, kebutuhan
dan perasaan suatu masyarakat juga latar belakang budaya atau etnik mereka.
Gerakan salah satu bahu (biasanya bahu kiri) sebagai jawaban yang dimunculkan
oleh orang-orang di Papua terhadap pertanyaan apapun yang dilontarkan dalam
berinteraksi menandakan bahwa orang Papua tidak mau tahu, atau bagaimana nanti
saja.
Perbedaan yang paling mendasar dari
masyarakat yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda adalah rasa
teritorial dan bagaimana mengatasi ruang mereka. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat ‘ruang’ abstrak yang mengelilingi individu. Besarnya ruang
tersebut tergantung pada beberapa faktor, yaitu: emosionalnya, aktivitas yang
diperlihatkan pada saat berkomunikasi dan latar belakang budaya.
Ruang tersebut merupakan teritori yang
bergerak, di mana individu akan merespon gangguan atau stimulus yang ada.
Apabila ia terbiasa dengan hubungan yang dekat dengan orang lain maka ruangnya
akan lebih kecil daripada individu yang terbiasa dengan hubungan personal yang
jauh. Begitu pula dengan emosi, ruang akan membesar apabila kita berada dalam
keadaan marah atau tertekan. Umumnya masyarakat kulit putih Amerika kelas
menengah menggunakan empat sifat hubungan dalam bisnis dan kegiatan sosial
mereka, yaitu: bersifat intim, personal, sosial dan publik.
Sentuhan (touch) juga merupakan bagian
yang penting dalam komunikasi, misalnya sentuhan yang cepat dan lembut.
Walaupun umumnya orang-orang tidak menyadari, ruang abstrak tersebut dirasakan
dan oleh karena itu, jarak yang terdapat di antara orang-orang yang
berkomunikasi tidak ditentukan oleh pandangan saja tapi juga oleh seluruh panca
indra manusia. Di mana saja, di mana terdapat perbedaan budaya yang sangat
besar di antara dua orang maka masalah-masalah yang disebabkan oleh perbedaan
tersebut dapat timbul, misalnya dalam bentuk perilaku dan hal-hal yang
diinginkan oleh masing-masing pihak. Masalah yang terjadi pada sepasang
suami-istri yang memiliki perbedaan budaya yang sangat besar, misalnya, bukan
bersifat psikologis tetapi lebih pada budaya.
Mengapa manusia mengembangkan cara-cara yang
berbeda dalam menyampaikan pesan-pesan tanpa kata-kata? Salah satu alasannya
adalah karena manusia tidak menyukai untuk mengucapkan pesan-pesan tertentu
yang ingin disampaikan. Oleh karena itu digunakan cara yang lain untuk
mengekspresikan perasaannya. Sehingga dengan demikian, pesan makna yang
terkandung dalam suatu folklor dapat dengan jelas tersampaikan dengan melalui
tradisi oral karena tradisi oral akan disertai juga dengan gerakan-gerakan
kinetis.
Folklor merupakan suatu gejala sosial dan
budaya yang terkait dengan identitas sekelompok sosial manusia dalam
menjelaskan kedudukannya di dunia ini, sehingga keberlanjutan dari pedoman
dalam mengatur tingkah lakunya dapat secara ajeg dipertahankan karena budaya
bersifat tradisi sehingga harus tetap. Dengan sifatnya yang tradisional
tersebut maka banyak para ahli folklor yang salah mengartikan dari kata folk
itu sendiri.
Definisi-definisi folklor lebih banyak
didasari pada folk itu sendiri bila dibandingkan dengan lore yang
jarang diperhatikan dan dianggap kurang menarik. Penggunaan istilah folk itu
sendiri banyak yang mendefinisikannya secara berbeda-beda dan pada masa
sekarang tidak hanya orang awam saja tetapi masih banyak terdapat para ahli
folklor yang melakukan bisa dianggap sebagai suatu kesalahan dalam
mengidentifikasi folk dengan mengacu pada aktivitas dan identitas petani atau
kelompok sosial yang tinggal di pedesaan saja. Apabila demikian adanya istilah
folk ditempatkan, maka bagi penduduk perkotaan adalah bukan dianggap sebagai
folk, sehingga sebagai akibatnya, orang-orang perkotaan tidak akan mungkin
mempunyai folklor.
Dipihak lain, ada pengertian bahwa folklor
yang ada dan berkembang pada dasarnya dihasilkan oleh penduduk pada masa lalu
dan folklor tersebut masih berkembang pada masa sekarang serta masih hidup
secara berkelanjutan. Mengikuti pandangan yang seperti ini maka dalam
kenyataannya tidak akan pernah ada yang namanya folklor baru, dan yang ada
adalah bahwa folklor lama akan berangsur menjadi hilang dan punah atau terjadi
penambahan makna sehingga tidak kentara lagi keasliannya. Atau pada dasarnya
bentuk-bentuk folklor pada masa sekarang menjadi berubah fungsi dan umumnya
sebagai suatu kesenian yang menarik atau tidaknya tergantung dari manajemen
pementasan yang digelar.
Pengertian-pengertian itu semua dapat saja
dimungkinkan. Untuk mendefinisikan antara folk dan lore dalam
satu contoh yang dapat dimengerti bagi orang awam adalah bahwa folk mengacu
pada sebuah kelompok dari masyarakat mana saja yang membagi paling tidak faktor
yang diistilahkan sebagai umum. Tidak terbatas pada apa yang terkait dengannya,
bisa terdapat pada pekerjaan, bahasa, atau agama. Yang menjadi penting adalah
bahwa kelompok sosial dapat terjadi atau terbentuk apapun alasannya dan yang
menjadi penting sebagai dasar adalah bahwa kelompok sosial mempunyai identitas
khusus yang menjadi tradisi.
Mengikuti teori kelompok dinyatakan bahwa
kelompok dapat terjadi apabila anggotanya terdiri dari lebih dari dua orang,
bahkan untuk kasus-kasus umum sebuah kelompok bisa terdiri dari banyak orang.
Maka folk mempunyai makna sebagai kumpulan beberapa orang dan yang jelas
kumpulan orang yang mempunyai struktur sosial serta berinteraksi satu sama lain
sebagai bentuk komuniti, mengapa harus berinteraksi satu sama lain dan harus
mempunyai aturan dalam struktur sosial yang ada dan dibentuk?. Masalahnya
adalah ada juga kumpulan beberapa orang tetapi tidak berinteraksi atau tidak
mempunyai struktur sosial tertentu yang menempatkan dirinya berbeda dengan
orang lain dalam suatu status tertentu yang berlaku, sehingga kumpulan orang
yang demikian tersebut bukanlah folk, seperti kerumunan orang yang sedang
mendengarkan celoteh seorang tukang obat keliling yang membuka lapak di pinggiran
jalan atau di pasar.
Kesemua anggota kelompok bisa jadi tidak tahu
anggota kelompok lainnya, akan tetapi masing-masing individu akan tahu apa saja
yang menjadi inti dari tradisi yang menjadi identitas dari kelompok yang
bersangkutan. Masing-masing kelompok mempunyai lingkungan sendiri-sendiri dan
pada umumnya apabila jenis kelompoknya sama maka lingkungannyapun dapat
dikatakan sama atau mirip. Jadi misalnya apabila terdapat kelompok pedagang
kaki lima di sebuah pasar maka kelompok tersebut akan menghasilkan folklor
tentang pedagang kaki lima seperti misalnya tentang ejekan (joke), dan
pastinya akan terdapat ejekan tentang polisi pamong praja yang sering menjadi
ancaman bagi aktivitas mereka; pada pekerja pembuat rel kereta api maka yang
dihasilkan adalah folklor tentang pekerja kereta api, kelompok pekerja kereta
api dimanapun tempatnya akan mudah dipahami pasti mempunyai lingkungan yang
sama atau mirip, sehingga folklor yang dihasilkannya akan juga mempunyai
kemiripan satu dengan lainnya. Begitu juga dengan kelompok yahudi, negro dst.
yang dihasilkan adalah folklor yahudi dan negro.
Bahkan pada akademi militer dapat tercipta
folklor yang berkaitan dengan segala aktivitas yang terdapat di akademi
tersebut, misalnya upacara, inisiasi, pranata kesehatan, cerita-cerita, dan
juga nyanyian-nyanyian yang dihasilkan oleh kelompok yang bersangkutan. Pada
kehidupan kelompok-kelompok kecil diperkotaan banyak terdapat folklor yang
tercipta dari suasana dan lingkungan yang dihadapinya sehari-hari seperti
istilah-istilah yang isinya adalah memprotes pemerintah, seperti bulan puasa
jangan minum Es Beye, atau jangan makan Sup Kala dan Soto Yoso dan sebagainya.
Beberapa bentuk teka-teki yang tersebar dalam komuniti atau bahkan masyarakat
yang biasanya jawaban dari teka-teki tersebut berkisar dari keadaan sosial
masyarakat pada masa itu.
Atau istilah-istilah untuk menggantikan
istilah status tertentu, dan biasanya berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan atau
binatang-binatang tertentu yang pastinya berkenaan dengan lingkungan yang ada
seperti anak singkong, tua-tua keladi yang jelas-jelas berkaitan dengan sifat
dari tumbuh-tumbuhan; kemudian berkaitan dengan binatang ular berkepala dua,
kambing hitam, lipan, kelinci percobaan, tikus kantor, kucing garong, buaya
darat dan sebagainya. Kesemuanya tersebut terkait dengan aktivitas yang
dimunculkan oleh individu-individu tertentu sehingga dimanivestasikan dalam
bentuk tumbuhan atau hewan tertentu.
Bahkan pada kelompok-kelompok yang paling
kecilpun terdapat folklor, seperti pada keluarga yang mempunyai aktivitas
khusus yang hanya diketahui oleh anggota keluarga tersebut, seperti memanggil
anggotanya dengan siulan pada suatu kerumunan, atau istilah-istilah tertentu
untuk orang yang mempunyai gigi kecil-kecil (misalnya gigi tikus dst). Kemudian
juga ejekan-ejekan diantara anak-anak tentang orang tuanya atau istilah untuk
anak cantik, anak nakal dan sebagainya yang umumnya mengacu pada binatang baik
wujud atau perilaku binatang yang menjadi acuan tersebut, misalnya untuk kancil
apabila cerdik, untuk kura-kura apabila lambat, untuk jerapah apabila tinggi,
untuk gajah apabila besar dan berat, dan seterusnya.
Itu sebabnya banyak ahli folklor meneliti
tentang masyarakat-masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu dengan sukubangsa
tertentu sebagai gambaran masyarakat di wilayah yang bersangkutan, seperti
orang Sunda di Jawa Barat, masyarakat Gayo di Nangroe Aceh Darussalam,
masyarakat Aborigin di Australia atau masyarakat Indian di Amerika di satu
pihak, dan ada juga yang meneliti organisasi pekerja pabrik atau kelompok
Tukang Ojeg di Bandung di pihak lainnya, masing-masing kelompok sosial tersebut
mempunyai folklornya sendiri-sendiri baik itu sebagai sebuah etnik group
seperti masyarakat Gayo atau Indian atau sebagai sebuah kelompok sosial seperti
kelompok tukang ojeg di terminal Dago di Bandung. Sehingga kemudian muncul
beberapa permasalahan seperti batas kebudayaan (culture area) dan
kebudayaan itu sendiri, atau sebagai batas kebudayaan dan sering diartikan
sebagai batas sukubangsa sedangkan kebudayaan terkait dengan komuniti dari
pendukung kebudayaan yang bersangkutan, misalnya kebudayaan komuniti tukang
becak, kebudayaan komuniti kelas atas tertentu dan seterusnya.
Dari kesemua penjabaran tersebut serta
beberapa contoh dari kemunculan atau penelitian folklor yang dilakukan baik
secara sukubangsa maupun secara kelompok kecil dari sebuah komuniti maka
masalahnya adalah apa sebenarnya folklor itu?. Hal ini terkait dengan
keberadaannya yang sangat menyebar dalam diri individu sebagai anggota masyarakat
atau komuniti atau kelompok-kelompok kecil yang berupa keluarga atau band
(komuniti berburu meramu).
Disini dijelaskan apa yang dimaksud dengan
folklor secara umum dan apa bentuk-bentuk dari folklor tersebut sehingga
menjadi jelas kedudukan folklor tersebut. Untuk pemula, definisi folklor dapat
dimaksudkan sebagai aktivitas manusia yang berkenaan dengan mitologi, legenda,
cerita rakyat, candaan (joke), pepatah, hikayat, ejekan, koor, sumpah,
cercaan, celaan, dan juga ucapan-ucapan ketika berpisah dst. Folklor termasuk
juga kostum rakyat, tarian rakyat, drama rakyat, seni rakyat, pengobatan
rakyat, musik rakyat, keyakinan rakyat, folksong, ucapan-ucapan rakyat,
folk etimologi.
Kesemua itu bila dikaitkan dengan kebudayaan
maka akan terlihat bahwa folklor merupakan hasil budaya dari suatu masyarakat
dengan lingkungan tertentu yang berupa tingkah laku budaya serta benda-benda
budaya yang pada dasarnya menggambarkan kebudayaan masyarakat tersebut secara
keseluruhan. Hal ini mengacu pada pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh
James Spradley yang menyatakan bahwa wujud kebudayaan terdiri dari tiga yang
dapat dijabarkan sebagai satu kesatuan (1) pengetahuan budaya (cultural
knowledge), (2) tingkah laku budaya (cultural behavior), dan (3)
benda-benda budaya (cultural artifact). Kesemua wujud ini saling terkait
satu dengan lainnya, akan tetapi untuk sebuah masyarakat mungkin yang akan
terlihat jelas keterkaitannya adalah antara pengetahuan budaya dan tingkah laku
budaya, sedangkan benda-benda budaya bisa saja berasal dari kelompok lain.
Dalam hal ini pengetahuan budaya terdapat
beberapa simbol yang menggambarkan atau memberi makna kepada lingkungan yang
dihadapi oleh masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan, isi dari
pengetahuan budaya antara lain norma, moral, nilai dan aturan sebagai
perwujudan dari simbol konstitutif, kognitif penilaian dan pengungkapan
perasaan sebagai milik masyarakat, yang tentunya mempunyai pengertian yang
berbeda-beda sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Pengetahuan budaya ini kemudian
digunakan untuk memahami lingkungannya dan digunakan secara selektif untuk
mendorong terwujudnya bentuk-bentuk tingkah laku budaya.
Tingkah laku budaya dengan demikian akan
sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya karena hal-hal yang mendorong terwujudnya
tingkah laku budaya adalah karena lingkungannya sehingga bisa diartikan sebagai
strategi dalam menghadapi lingkungan. Biasanya dalam mewujudkan tingkah laku
budaya manusia akan terikat dengan beberapa tindakan yang sesuai dengan
struktur sosial masyarakatnya dan diatur dalam pranata sosial yang mendukungnya
sesuai dengan status dan peran yang harus diwujudkannya, sehingga dengan
demikian tingkah laku budaya menjadi seperangkat tindakan sosial yang sesuai
dengan aturan-aturan dalam pranata sosial yang berlaku.