Rabu, 29 April 2015

MENYIMAK EFEKTIF



MENYIMAK EFEKTIF
Hakikat Menyimak adalah: Suatu kegiatan memahami, menelaah, mengartikan suatu simbol, bahasa, ataupun isyarat. Kita dapat mengambil makna, arti, maksud, dan tujuan dari kegiatan menyimak tersebut. Tujuan dari menyimak adalah memberikan peningkatan pengetahuan. Manfaatnya adalah kita akan mendapat  pengetahuan dari sesuatu yang kita simak tersebut. Menyimak merupakan salah satu keterampilan yang sangat penting dalam berbahasa, karena suatu lambang bahasa dapat kita terima dengan baik apabila keterampilan menyimak kita baik pula.
Umumnya kegagalan manusia dalam berkomunikasi disebabkan kurang baiknya ketrampilan menyimak itu sendiri. Pada dasarnya semua manusia membutuhkan keterampilan menyimak, karena manusia mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, dan manusia membutuhkan berbagai informasi dan ilmu pengetahuan demi berkembangnya SDM  itu sendiri. Perkembangan menyimak manusia tergantung pada rangsangan stimulus yang dirasakannya, jika rangsangan yang diterima kuat, maka daya tarik untuk menyimak manusia akan relatif peka dan antusias, begitu pula sebaliknya. Menyiamak dapat dilakukan oleh manusia setiap saat, dan dimana saja tergantung sekuat apa stimuls kejadian tersebut yang diterima.

PENDAPAT PARA TOKOH
Menyimak bukan hanya mendengar dan mendengarkan, berikut pendapat beberapa tokoh diantaranya :
Menurut  Tarigan (1994:27) “Pada kegiatan mendengarkan mungkin si pendengar  tidak memahami apa yang didengar. Pada kegiatan mendengarkan sudah ada unsur kesengajaan, tetapi belum diikuti unsur pemahaman karena itu belum menjadi tujuan. Kegiatan menyimak mencakup mendengar, mendengarkan, dan disertai usaha untuk memahami bahan simakan. Oleh karena itu dalam kegiatan menyimak ada unsur kesengajaan, perhatian, dan pemahaman, yang merupakan unsur utama dalam kegiatan menyimak. Penilaiannya pun selalu terdapat dalam peristiwa menyimak, bahkan melebihi unsur perhatian.”
Menurut Rost (1991:108) bahwa faktor-faktor penting dalam keterampilan menyimak dalam kelas adalah siswa menuliskan butir-butir penting bahan simakan terutama yang berhubungan dengan bahan simakan.
Pendapat lain menurut Tarigan (1994:62), komponen / faktor-faktor penting dalam menyimak adalah sebagai berikut :
1.      Membedakan antara bunyi fonemis.
2.      Mengingat kembali kata-kata
3.      Mengidentifikasi tata bahasa dalam sekelompok kata.
4.      Mengidentifikasi bagian-bagian Pragmatik, Ekspresi, dan seperangkat penggunaan yang berfungsi sebagai unit sementara mencari arti/makna.
5.      Menghubungkan tanda-tanda lingusitik ke tanda-tanda para linguistic (intonasi) yang sesuai objek agar terbangun makna, menggunakan pengetahuan awal (yang kita ketahui tentang isi dan bentuk dan konteks) yang telah siap dikatakan untuk memperkirakan dan kemudian menjelaskan makna.
6.      Mengulang kata pengting dan ide penting.
Selanjutnya menurut pendapat Michael (1991:108) faktor-faktor penting dalam keterampilan menyimak adalah siswa menuliskan butir-butir penting bahan simakan terutama yang berhubungan dengan bahan simakan. Untuk dapat mengajarkan menyimak sampai pada  pemahaman, guru perlu menyusun bahan simakan. Penyusunan menyimak pun tidak asal mendapat materi saja, tetapi ada beberapa yang harus diperhatikan guru dalam penyusunan materi ini diantaranya :
1.      Sasaran kegiatan.
2.      Sasaran kompetensi siswa.
3.      Metode pembelajaran.
4.      Faktor keberhasilan menyimak
(Budiman, 2008:2)
Sasaran kegiatan harus ditentukan terlebih dahulu sesuai dengan tujuan pembelajaran menyimak, misalnya menyimak informasi yang bertujuan untuk mendapatkan fakta atau opini. Sasaran berikutnya yaitu berhubungan dengan kompetensi siswa, hal ini berhubungan dengan kemampuan siswa diahir pembelajaran. Misalnya kemampuan siswa menyeleksi informsi yang mengandung fakta,mengidentifikasi ketidak sesuaian pernyataan seseorang dengan kenyataan yang ada. Selain itu menyimak dapat mengembanghkan kemampuan siswa untuk selektif atas informasi.
Keberhasilan menyimak juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu lingkungan. Lingkungan yang mempengaruhi tersebut memberikan kenyataan bahwa siswa dapat menyimak dengan baik atau tidak. Harus dihindari lingkungan yang akan memberikan pengaruh buruk bagi keberhasilan pengembangan kompetensi menyimak. Faktor tersebut misalnya minimnya fasilitas (tidak ada laboratorium), suasana menyimak tidak nyaman (ruangan terlalu lebar, kelas sebelah terlalu berisik). Selain faktor eksternal tersebut, ada  faktor internal yang mempengaruhi keberhasilan menmyimak yaitu tidak tertariknya siswa pada bahan simakan, faktor fisik yang tidak memungkinkan untuk melakukan menyimak yang baik, serta faktor psikis yaitu rasa malu, takut. Oleh karena itu peran guru dalam menentukan keberhasilan menyimak sangat penting. Keempat hal diatas perlu diperhatikan oleh para guru. Materi yang disusun pun harus memperhatikan perkembangan siswa. Tema materi yang dipergunakan seharusnya lebih berfareatif. Dengan demikian, siswa tidak akan jenuh dengan pembelajaran menyimak menjadi menyenangkan.
Menyimak yang baik apabila individu mampu menggunakan waktu ekstra untuk mengaktifkan pikiran pada saat menyimak. Ketika para siswa menyimak perhatiannyan tertuju pada objek bahan simakan. Pada saat itulah akan didapatkan proses menyimak yang efektif, menyimak yang lemah, dan menyimak yang kuat, sebagaimana dikemukakan oleh Campbell, dkk (2006:16)
No.
Menyimak yang efektif
Menyimak yang lemah
Menyimak yang kuat
1.
Temukan beberapa area minat
Menghilangkan pelajaran yang “kering”
Menggunakan peluang dengan bertanya “apa isinya untuk saya?”
2.
Nilailah isinya bukan penyampainnya
Menghilangkannya jika penyampainnya jelek
Menilai isi, melewaati kesalahan-kesalahan penyampaian.
3.
Tahanlah semangat anda
Cenderung berargumen
Menyembunyikan penilaian sampai paham
4.
Dengarkan ide-ide
Menyimak kenyataan
Menyimak inti
5.
Bersikap fleksibel
Membuat catatan intensif dengan memakai hanya satu system
Membuat catatan lebih banyak. Memakai 4-5 sistem berbeda tergantung pembicara
6.
Bekerjalah saat menyimak
Pura-pura menyimak
Bekerja keras, menunjukan keadaan tubuh yang aktif
7.
Menahan gangguan
Mudah tergoda
Berjuang/menghindari gangguan, toleransi dengankegiatan-kegiatan jelek, tahu cara berkosentrasi.
8.
Latihlah pikiran anda
Menahan bahan yang sulit, mencari bahan yang sderhana
Menggunakan bahan yang padat untuk melatih pikiran
9.
Buakalah pikiran anda
Setuju dengan iformasi jika mendukung ide-ide yang terbentuk sebelumnya
Mempertimbangkan sudut pandang berbeda sebelum membentuk pendapat
10.
Tulislah dengan huruf besar tentang fakta karena berpikir lebih cepat daripada berbicara
Cenderung melamun dengan pembicara yang lemah
Menantang, mengantisipasi, merangkum, menimbang bukti, mendengarkan apa yang tersirat

Selasa, 28 April 2015

FOLKLOR

Selamat berjumpa kemabli,
Setelah sekian kali posting, materi yang dibahas masih sekitaran materi untuk adik-adik pelajar, sekarang saya akan memposting materi yang hanya dibahas pada bangku perkuliahan Bahasa dan Sastra Indonesia. Materi Folklor ini sebenarnya membahas tentang seputaran dongeng yang juga ada pada materi adik-adik SMP, namun pada folklor tidak hanya membahas cerita dongeng saja, namun membahas detail tentang folklor tersebut.


Sejarah Folklore

Hikayat, dongeng, tahyul, cerita-cerita rakyat, mitos, legenda sering kita dengar penuturannya ketika kita masih kecil dan bahkan menginjak dewasapun kondisi tersebut masih terus berlangsung, dan sering juga berkembang cerita-cerita baru hasil perkembangan cerita lama dan kadang di’pleset’kan dalam bentuk jenaka. Perkembangan alur cerita yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi sehingga bentuk penyampaiannya mengalami perkembangan mengikuti perkembangan kebudayaan dan pola hidup yang ada. Kesemuanya tersebut erat kaitannya dengan kesukubangsaan dan masyarakat tradisional, padahal dalam kenyataannya tidaklah terbatas pada masyarakat tradisional saja tetapi juga berlaku pada masyarakat sekarang, masyarakat perkotaan.

Adanya sindiran-sindiran, ungkapan-ungkapan, mitos, legenda pada masayarakat di pedesaan dan bahkan pedalaman dan juga masyarakat perkotaan sering kita dengar. Apalagi pada komuniti jasa seperti kehidupan korporat, banyak anekdot-anekdot, sindiran-sindiran, ceritera-ceritera tentang atasan yang diciptakan oleh para bawahannya (buruh), dan biasanya sindiran terhadap para atasan yang dianggap kurang berkenan bagi para karyawannya.
Kesemua hal tersebut adalah bagian dari apa yang disebut folklor, fenomena-fenomena ini sejak dahulu memang telah dipelajari dan dicari makna serta simbol-simbol dari adanya hal tersebut, apa maksudnya bagi masyarakat. Memang perkembangan dari folklor tidak lepas dari manusia itu sendiri dalam kehidupannya bermasyarakat, artinya tidak akan lepas dari adanya budaya dari manusia sebagai mahluk sosial.
William Thoms adalah pencetus pertama kali istilah folklor, dia menyatakan dalam suratnya kepada The Athenaeum sebuah jurnal tentang sebuah artikel yang sengaja diajukan sebagai tulisan artikel tentang Saxon dengan judul ”good Saxon coumpound, Folklore”. Dalam tulisan tersebut William Thoms menggunakan nama Ambrose Merton. Kemudian jurnal tersebut menempatkan tulisan William sebagai Antik Populer dan tulisan populer, tulisan ini diajukan pada tahun 1846. dalam tulisan tersebut, William Thoms memaparkan beberapa konsepsi tentang folklor yang menyangkut perbuatan, adat, balada, ketaatan, ketahyulan, pepatah, hikayat, taboo, larangan.
Para pembaca jurnal ketika itu mencoba untuk mempertentangkan perhatian mereka terhadap surat dari William Thoms, khususnya tentang waktu yang dibuat oleh William Thoms. Untuk penelitian dan studi tentang materi dari folklor itu sendiri pada dasarnya telah dipelajari sebagai bagian dalam penelitian tentang etnografi, akan tetapi dilakukan dengan sangat kaku pada masa lalu. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat seperti tulisan dari Grimm bersaudara yang menulis tentang ”household tales” yang pertama kali muncul tahun 1812, jauh sebelum William Thoms menulis surat. Selama pertengahan dan akhir abad ke sembilan belas, dan pada awal abad ke dua puluh disiplin folklor mulai dibangun. Pertumbuhan perhatian terhadap folklor lebih dipengaruhi oleh arus kelompok romantisme dan nasionalisme intelektual di pertengahan abad ke 19. artinya bahwa perkembangan folklor tersebut mendapat pengaruh dari suasana politik dan kondisi sosial masyarakat ketika itu yang sudah bergeser kearah hukum-hukum positif. 
Alan Dundes (1965: 1-2) menyatakan bahwa perdebatan tentang folklor telah berlangsung lama sejak kata tersebut diciptakan oleh William Thoms pada tahun 1846. Menurutnya, kebanyakan ahli lebih tertarik pada pendefinisian kata folklore yang lebih mengarah pada kata lore, dan hanya sebagian kecil ahli saja yang tertarik pada kata folk. Menurut para ahli itu sendiri dinyatakan bahwa kata lore lebih mengarah pada bentuk benda-benda (material) dari folklor atau benda-benda serta berorientasi pada orang-orang yang menggunakan benda-benda tersebut, dan istilah lore tersebut mempunyai makna yang sudah dideskripsikan dalam istilah yang dikemukakan oleh komuniti asli, bentuk folklornya, transmisi pembentukkannya dan fungsi dari folklor itu sendiri di dalam kehidupan komuniti asli. 
Bahkan dibanyak komuniti, folklor ditanggapi sebagai ilmu tentang dongeng, atau tari-tarian rakyat, sehingga apabila kita menyaksikan pertunjukkan tari-tarian rakyat sering diberi judul sebagai folklor. Atau bentuk-bentuk seni yang bersifat tradisional disebut sebagai folklor, bagi sebagian ahli ilmu sosial khususnya Eropa istilah folklor hanya diperuntukkan bagi masyarakat-masyarakat yang tidak mengenal tulisan (Dundes 1965), akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, masyarakat yang mengenal tulisanpun juga mempunyai folklor. Intinya adalah bahwa folklor dikatakan sebagai suatu bentuk peruwujudan oral yang akan diulang-ulang sehingga berpola dari masa ke masa.
Pada masa sekarang, folklor begitu berkembang dengan jatidirinya sebagai sebuah ilmu yang sulit dikelompokkan dalam bidang tertentu, seperti halnya linguistik. Folklor dipelajari sebagai bagian dalam kajian sastera atau termasuk dalam fakultas sastera dan banyak dipelajari oleh filologi, dipihak lain dipelajari sebagai ilmu sosial dan ini menjadi telaahan dari antropologi, khususnya antropologi budaya. Sehingga folklor berdiri dalam dua bidang besar keilmuan humaniora dan sosial. 
Folklor masa sekarang sudah juga dapat dipakai untuk menelaah keadaan sosial masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan dan digunakan juga menganalisa perkembangan politik masyarakat atau bahkan negara ketika tokoh-tokoh politik banyak dipakai dalam anekdot-anekdot yang berkembang sebagai dampak dari tindakan tokoh politik yang tidak populer di masyarakat. Dengan semakin besarnya kemungkinan masing-masing komuniti dengan kebudayaannya yang berbeda untuk saling bertemu, maka banyak anggapan-anggapan yang muncul terhadap masing-masing komuniti tersebut berkaitan dengan tingkah lakunya yang dianggap berbeda, dan seiring dengan munculnya anggapan-anggapan tersebut maka muncul pula folklor terhadap komuniti lain tersebut yang umumnya berupa anekdot-anekdot tentang kelompok sosial lain.
Disamping itu perkembangan folklor menjadi lebih rinci lagi dengan adanya kategorisasi jenis-jenis folklor yang ada, seperti adanya dongeng, kesusasteraan suci, upacara, mitos, legenda, gosip, teka-teki, permainan rakyat, kesenian rakyat dan seterusnya yang masing-masing terbagi-bagi dalam karakteristik bentuknya. Ada juga yang termasuk dalam konteks kontemporer, permanen dan lainnya, seperti isu-isu atau gosip termasuk dalam kategori kontemporer yang mungkin hanya dapat tumbuh dalam jangka waktu yang sebentar.
Bahkan sebelum berkembangnya ilmu sosial lain seperti antropologi dan sosiologi, folklor digunakan untuk menganalisa apakah suatu kelompok sosial mempunyai ikatan di dalam kelompoknya atau berusaha memahami kelompok di luarnya. Seperti menganalisa sifat nasionalisme suatu kelompok, ini terkait dengan batasan budaya yang ada dalam kelompok tersebut. Seperti misalnya ketika orang Jawa bertemu dengan orang Jawa lainnya dan orang Jawa lainnya bertingkah laku tertentu sehingga dianggap sebagai orang Jawa yang tidak Jawa (ora nJawani). Tingkah laku yang diwujudkan tersebut yang dianggap tidak orang Jawa sangat sulit dijelaskan dan hanya dapat dirasakan oleh sesama orang Jawa. Atau menganggap tingkah laku orang tertentu dikaitkan dengan suatu daerah tertentu di wilayah kelompok sosial tersebut yang dianggap terlalu pedesaan, seperti ’Belanda Depok’ untuk menggambarkan seseorang dengan ciri-ciri seperti orang Bule (Belanda), rambut pirang, badan tinggi dst. Tetapi tingkah laku yang diwujudkan serta gaya bicara seperti orang pedesaan di Indonesia (udik), istilah ini khusus untuk kelompok orang-orang Betawi.

Apa itu Folklor?
Apabila kita mendengar kata folklor maka yang menjadi acuan dari kata tersebut adalah dongeng, gosip, benda-benda seni, nyanyian atau tari-tarian yang mengandung sebuah atau beberapa jalan ceritera. Atau sering diacu sebagai pengelompokkan dari gambaran dongeng-dongeng, mitos-mitos, puisi-puisi, nyanyian-nyanyian yang bersifat rakyat. Sehingga apabila kata folklor diperdengarkan maka yang ada adalah sebuah paparan yang bersifat tradisional dan kerakyatan. Sehingga secara sekilas tidak akan ada bedanya dengan istilah kebudayaan.
Kebudayaan seperti yang didengungkan oleh orang kepada kita, maka yang terbayang adalah sebuah tradisi, seni, adat istiadat, kebiasaan, tari-tarian yang bersifat kuno tapi masih digunakan dan bersifat kedaerahan atau desa. Atau sering juga dipahami sebagai sebuah perkembangan pemikiran dari yang sederhana menjadi modern dan dari yang sederhana menjadi kompleks. Sehingga untuk menggambarkan kebudayaan masyarakat masa kini di perkotaan mempunyai istilah khusus seperti budaya kota, budaya masa kini, budaya modern dan seterusnya sebagai lawan dari tradisional. Jelasnya yang tradisional sudah tentu mempunyai makna budaya, sedangkan yang modern belum dapat dikatakan sebagai sebuah budaya suatu daerah. Sehingga bagi nyanyian atau tarian yang bersifat perkotaan atau modern secara awam belum juga dapat diistilahkan sebagai folklor.
Pada dasarnya kata folklor itu sendiri sedang dan masih dalam proses perdebatan sebagai perpaduan antara folk dan lore. Para ahli sendiri juga sering mempermasalahkan mana yang folk dan mana yang lore, akan tetapi pada dasarnya sekarang sudah tidak menjadi hambatan lagi apapun bentuknya yang jelas dua kata tersebut menjadi sebuah kata yang bermakna kasatuan dari sub-sub kegiatan lainnya seperti dongeng, hikayat, seni rakyat dan sebagainya. Kesemuanya adalah bentuk-bentuk folklor apakah tumbuh dan berkembang di daerah pedesaan, sukubangsa tertentu ataukah di perkotaan pada komuniti tertentu yang bisa berbeda-beda sukubangsa.
Tidak hanya para ahli folklor dari beberapa negara saja yang sering memperdebatkan istilah tersebut, bahkan para ahli folklor dari satu negarapun masih banyak perbedaan tentang konsep dan istilah untuk folklor. Akan tetapi pada dasarnya terdapat benang merah yang sama yaitu pada kriteria umum yang mengarah pada pendefinisian tentang pengertian dari transmisi folklor, dan secara spesifik folklor dikatakan sebagai suatu aktivitas kebiasaan sehari-hari dan berpola yang terjadi dalam tradisi oral.
Kriteria yang dikemukakan ini pada dasarnya belum mencapai kejelasan tentang kajiannya yang spesifik dan masih akan mendapatkan kesulitan pada masalah teoritis. Kesulitan pertama adalah bahwa pada kebudayaan masyarakat yang tidak mengenal tulisan, hampir semua tindakan yang diwujudkan dan cara-cara tindakan yang ditransmisikan, dilakukan oleh warga masyarakat tersebut secara oral; misalnya pada bentuk masyarakat atau komuniti berburu meramu, selain dari bahasa, teknik berburu, dan aturan perkawinan pada dasarnya telah dilalui secara oral dari generasi ke generasi (vertikal) dari satu orang ke orang lain (horizontal) serta pada aktivitas-aktivitas lainnya. Kemudian beberapa ahli folklor menyatakan bahwa pada tipe-tipe masyarakat yang seperti ini semua aktivitas dan kebudayaan materi yang dihasilkan dari bentuk masyarakat tersebut adalah dapat dikatakan termasuk juga sebagai bagian dari folklor, artinya benda-benda dari hasil tingkah laku manusia dalam rangka kesesuaiannya dengan lingkungan disebut juga sebagai benda-benda folklor. Hal ini berkaitan dengan penggunaan dan pembuatan benda-benda budaya tersebut dilakukan transmisinya secara oral, imitasi dan tidak dengan tulisan, karena masyarakat atau komuniti yang bersangkutan tidak mengenal tulisan. 
Juga sama kejadiannya pada kebudayaan masyarakat yang mengenal tulisan, beberapa informasi dan kebiasaan sehari-hari ditransmisikan secara oral seperti bagaimana mengendarai traktor, bagaimana untuk menyikat gigi, bagaimana bersikap sopan terhadap orang tua, serta kegiatan lainnya, tetapi secara ordinari tidak dianggap sebagai folklor. Hal ini berkaitan dengan bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang mengenal tulisan, yang walaupun demikian masih tetap terdapat tradisi oral dalam penyampaian yang berkenaan dengan aktivitas tertentu sehari-hari yang harus dilakukan. 
Kedua, terdapat beberapa bentuk folklor yang diwujudkan dan dikomunikasikan secara tertulis dan ini berlawanan dengan istilah folklor yang ditransmisikan melalui bentuk oral. Bentuk-bentuk transmisi secara tertulis ini ada pada seperti tulisan tangan, tulisan di batu, tulisan-tulisan tradisional yang merupakan ciri dari aksara budaya setempat. Pada bentuk masyarakat yang mengenal tulisan ini, banyak pesan-pesan yang dianggap sebagai folklor dibentuk dalam wujud materi, seperti tulisan-tulisan dalam aksara tertentu dengan menggunakan sarana tertentu seperti tulisan-tulisan dengan huruf Jawa kuno, atau Bali pada daun lontar, benda-benda dengan ornamen tertentu seperti bentuk-bentuk ukiran dan juga motif kain dalam suatu kegiatan tertentu. 
Dalam praktek nyata seorang ahli folklor yang profesional tidak terlalu jauh untuk mengatakan bahwa folktale atau balada bukanlah folklor sebab kadang-kadang alur sejarah kehidupan ditransmisikan melalui tulisan atau barang cetakan. Argumentasinya bahwa folktale atau balada tidak pernah dalam bentuk tradisi oral, berarti balada tersebut dapat dikategorisasikan bukan folklor. Balada tersebut mungkin dapat dikategorisasikan atau dikelompokkan sebagai produk tertulis yang didasarkan pada model folk, tetapi ini tidak sama dengan sebagai model itu sendiri.
Kesulitan ketiga berkaitan dengan transmisi oral. Dalam mentransmisikan secara oral aktivitas tersebut sangat tergantung dan sangat memperhitungkan pada gerakan tubuh dari orang yang mentransmisikan; ini semua dapat ditunjukkan dalam tarian rakyat, permainan rakyat, dan gerak isyarat yang terdapat pada aktivitas itu sendiri. Seperti seorang anak akan menerima bentuk-bentuk gerakan hanya dari observasi dan juga partisipasi ketika anak tersebut sedang belajar menari atau sedang melakukan aktivitas bermain yang didasari pada kebudayaan dari masyarakat dimana si anak sebagai anggotanya. Atau ketika jari telunjuk ditempelkan ke bibir maka makna dari aktivitas tersebut adalah jangan bicara atau jangan berisik, atau menyuruh diam. Aktivitas sosialisasi dalam bentuk-bentuk oral dan kinetis ini pada dasarnya sangatlah umum dan sesuai dengan kondisi usia dari anak (immitation) akan tetapi masing-masing budaya masyarakat akan bersifat spesifik dan khusus. 
Masalah yang sama juga dapat ditemui pada bentuk-bentuk seni rakyat, sebagai simbol-simbol tradisi, yang ditularkan dari individu ke individu secara langsung dan ada juga yang tidak secara langsung. Beberapa contoh dalam proses ini adalah seperti melalui hasil seni yang dipertunjukkan oleh seorang artis, dalam kegiatan tersebut artis mengkopi gerakan atau disain yang ada secara tradisional yang dipelajarinya di pedesaan atau di orang awam dan kemudian dilakukan secara lebih terfokus dengan beberapa penambahan dalam bentuk kostum serta beberapa orang dan penambahan gerakan secara lebih artistik dan kemudian mempopulerkannya. Sehingga bentuk-bentuk ini menjadi sangat berbeda dari bentuk awalnya yang hidup dalam suatu lingkungan tertentu.
Dalam kasus pertunjukkan tersebut, sangat berkaitan dengan teori dalam folklor yang menjelaskan masalah esoteric dan exoteric. Ini sangat berkaitan dengan rasa dari aktivitas folklor yang dipertunjukkan tersebut, esoteric mempunyai makna lebih ke dalam artinya penghayatan tentang fungsi aktivitas tersebut terhadap pranata sosial lain dalam komuniti setempat, bagaimana mereka (si pelaku) menghayati perannya dan kebutuhannya akan aktivitas yang dilakukannya dalam masyarakat pendukungnya. 
Sedangkan exoteric menggambarkan bahwa kegiatan yang dilakukannya tersebut bukan untuk dirinya saja tetapi berfikir kepada diri orang lain, masyarakat lain, komuniti lain. contoh dalam hal ini adalah bagaimana beberapa orang penduduk dari Indramayu melakukan perayaan kegiatan upacara pesta setelah mereka berhasil dalam panen yang ada di lingkungannya bersama dengan seluruh penduduk setempat, dibandingkan dengan beberapa orang Indramayu melakukan pertunjukkan upacara panen padi di sebuah gedung kesenian dengan melibatkan penonton yang berasal dari berbeda komuniti.
Atau dengan kata lain, esoteric lebih menekankan pada bentuk fungsi dari kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pranata lainnya dalam kebudayaan yang bersangkutan, artinya mempunyai makna simbol yang saling terkait dengan simbol budaya lainnya dalam masyarakat. Sedangkan exoteric lebih menekankan pada segi satu pranata sosial saja dengan fokus pada komuniti lain (dalam hal ini penonton), sehingga fungsi secara budaya tidak tampak. Atau dalam benda-benda seni dapat juga mempunyai makna esoteric dan exoteric seperti patung kayu yang dibuat oleh orang Bali, walaupun dari jenis kayu yang sama dan bentuk patung yang sama tetapi yang satu untuk diperjual belikan dan yang lainnya untuk digunakan secara religious.
Cara-cara sosialisasi folklor lebih mengarah pada oral yang sangat mementingkan bahasa dan juga gerak tubuh, mimik muka dan gaya lainnya dari penutur aktif tradisional terhadap anggota masyarakat lainnya, sehingga dengan demikian gerak-gerak budaya yang berupa tingkah laku budaya dapat tersosialisasi dengan seutuhnya. Ini dapat disebut sebagai suatu bentuk komunikasi non-verbal, dan komunikasi non-verbal ini pada dasarnya menjadi kunci dari adanya sosialisasi folklor yang juga bersifat oral.
Komunikasi non-verbal merupakan jenis komunikasi yang melibatkan postur tubuh, gerakan-gerakan, ekspresi wajah, kebiasaan berjalan dan lain-lain, yang dilakukan setiap hari untuk menyampaikan perasaan tentang diri sendiri maupun orang lain, baik secara sadar maupun tidak sadar. Orang dapat lebih mengerti apabila dalam percakapan menggunakan gerakan-gerakan tubuh. Berbicara dan mendengar merupakan dua hal yang saling berkaitan di mana seseorang tidak dapat melakukannya tanpa ada orang lain. 
Dalam seluruh bentuk percakapan, pendengar biasanya menguatkan pembicara, baik secara positif maupun negatif. Pendengar biasanya dapat mengarahkan percakapan tanpa menyadarinya, misalnya dengan tertawa atau mengerutkan dahi atau juga menolak argumentasi pembicara dengan menggerakkan telapak tangannya, sehingga diperlukan suatu sorotan mata atau gejala-gejala bahasa yang dikuatkan oleh adanya gerakan mata.
Bahasa mata secara samar dan kompleks merupakan cara tertua dalam menyampaikan perasaan kita. Yang berbeda bukan saja menunjukkan cara yang dilakukan oleh pria maupun wanita, tapi juga memperlihatkan perbedaan-perbedaan kelas, generasi, regional, serta budaya etnik dan nasional. Dalam menganalisis bahasa mata dalam berkomunikasi, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang ingin diperlihatkan: (1) mendominasi – patuh (2) keterlibatan – tidak terpengaruh (3) sikap positif – sikap negatif. Selain itu, terdapat tiga tahap kesadaran dan kontrol, yang dapat dikategorisasikan sebagai berikut.
·                     Penggunaan mata secara sadar untuk berkomunikasi. Kategori yang sangat luas dari perilaku yang tidak disadari namun dipelajari memerintahkan kemana dan bila kedua mata diarahkan
·                     Respon yang ditunjukkan oleh mata yang bukan bagian dari kesadaran dan kontrol itu sendiri, misalnya perubahan-perubahan dalam kedipan mata dan gerakan reflek pupil mata.
Bagaimana manusia mempelajari bahasa tubuh? Sama halnya dengan cara kita mempelajari bahasa ucapan atau verbal, yaitu dengan mengamati dan mengimitasi atau meniru orang-orang di sekitar yang tumbuh dan berkembang secara bersama, sehingga bahasa yang diucapkan akan bertambah maknanya dengan gerakan-gerakan anggota tubuh termasuk panca indera. Perilaku tubuh menunjukkan jenis regional, kelompok dan pola-pola etnik dipelajari sejak kecil dan bertahan dalam kehidupan manusia, ini terkait erat dengan tingkah laku individu merupakan wujud nyata dari kebudayaan yang dipunyainya sebagai bagian dari masyarakat secara luas karena individu sebagai anggota masyarakat tentunya akan terikat dengan pengetahuan budaya yang menjadi pedoman bagi masyarakat tersebut, sehingga kebudayaan yang ada dalam benak individu dapat dikatakan sebagai pengetahuan budaya, sehingga dengan demikian pemahaman bahasa akan lebih kentara dan dapat sesuai dengan sasaran. 
Bahasa atau perilaku tubuh sangat berbeda dari satu budaya dengan budaya lainnya. Bahasa tubuh yang dapat diinterpretasikan secara berbeda misalnya: sikap kaki saat duduk, mengindikasikan seks, status dan kepribadian serta memperlihatkan apakah seseorang menghargai atau tidak menghargai orang yang berbicara dengannya; cara berjalan, yang mengindikasikan status, penghargaan, perasaan dan pertalian etnik atau budaya. Komunikasi yang melibatkan gerakan-gerakan tubuh, ekspresi wajah, postur tubuh dan cara berjalan bukan hal-hal yang baru. Komunikasi tersebut sering digunakan oleh para aktor, penari, penulis dan psikiater. Hal ini juga membuat para ilmuwan termotivasi untuk membuat pengamatan-pengamatan gerakan tubuh yang sistematis. Salah satu pelopornya adalah Ray L. Birdwhistell yang mengadakan penelitian gerakan tubuh dan menyebutnya sebagai kinesis.
Bahasa perilaku merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Disebabkan oleh kompleksitas itu, usaha-usaha untuk mengelompokkan dan menggeneralisasikan komunikasi non-verbal merupakan hal yang sia-sia. Bahasa tubuh bukan sesuatu dalam diri manusia yang bersifat bebas, atau dapat dilepaskan begitu saja. Lebih dari bentuk superfisial komunikasi yang dapat dimanipulasi secara sadar, sistem-sistem komunikasi non-verbal dijalin dalam kepribadian seseorang dan dalam masyarakat (seperti yang dikatakan oleh sosiolog Erving Goffman). Sistem-sistem komunikasi non-verbal dapat menyebabkan terjadinya interaksi-interaksi dalam kehidupan sehari-hari antara satu individu dengan individu yang lain. Sistem-sistem komunikasi juga mempengaruhi bagaimana seseorang mengekspresikan dirinya sendiri, bagaimana seseorang memperoleh pengalaman-pengalamannya. 
Gerakan reflek pupil mata dan kedipan mata telah dikenal oleh masyarakat asli Timur-Tengah selama bertahun-tahun. Misalnya yang dilakukan oleh seorang pedagang yang melihat ke pupil mata pembeli untuk mengetahui apakah pembeli tersebut benar-benar menginginkan barang yang ia jual. Fenomen atau gejala kedipan mata seringkali terjadi pada percakapan di antara dua orang yang menjalin hubungan cinta. Situasi yang umum juga terjadi di jalan dan masyarakat. Walaupun terdapat aturan-aturan tertentu tentang perilaku gerakan mata, namun aturan-aturan tersebut bervariasi sesuai dengan tempat, kebutuhan dan perasaan suatu masyarakat juga latar belakang budaya atau etnik mereka. Gerakan salah satu bahu (biasanya bahu kiri) sebagai jawaban yang dimunculkan oleh orang-orang di Papua terhadap pertanyaan apapun yang dilontarkan dalam berinteraksi menandakan bahwa orang Papua tidak mau tahu, atau bagaimana nanti saja.  
Perbedaan yang paling mendasar dari masyarakat yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda adalah rasa teritorial dan bagaimana mengatasi ruang mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat ‘ruang’ abstrak yang mengelilingi individu. Besarnya ruang tersebut tergantung pada beberapa faktor, yaitu: emosionalnya, aktivitas yang diperlihatkan pada saat berkomunikasi dan latar belakang budaya.
Ruang tersebut merupakan teritori yang bergerak, di mana individu akan merespon gangguan atau stimulus yang ada. Apabila ia terbiasa dengan hubungan yang dekat dengan orang lain maka ruangnya akan lebih kecil daripada individu yang terbiasa dengan hubungan personal yang jauh. Begitu pula dengan emosi, ruang akan membesar apabila kita berada dalam keadaan marah atau tertekan. Umumnya masyarakat kulit putih Amerika kelas menengah menggunakan empat sifat hubungan dalam bisnis dan kegiatan sosial mereka, yaitu: bersifat intim, personal, sosial dan publik. 
Sentuhan (touch) juga merupakan bagian yang penting dalam komunikasi, misalnya sentuhan yang cepat dan lembut. Walaupun umumnya orang-orang tidak menyadari, ruang abstrak tersebut dirasakan dan oleh karena itu, jarak yang terdapat di antara orang-orang yang berkomunikasi tidak ditentukan oleh pandangan saja tapi juga oleh seluruh panca indra manusia. Di mana saja, di mana terdapat perbedaan budaya yang sangat besar di antara dua orang maka masalah-masalah yang disebabkan oleh perbedaan tersebut dapat timbul, misalnya dalam bentuk perilaku dan hal-hal yang diinginkan oleh masing-masing pihak. Masalah yang terjadi pada sepasang suami-istri yang memiliki perbedaan budaya yang sangat besar, misalnya, bukan bersifat psikologis tetapi lebih pada budaya. 
Mengapa manusia mengembangkan cara-cara yang berbeda dalam menyampaikan pesan-pesan tanpa kata-kata? Salah satu alasannya adalah karena manusia tidak menyukai untuk mengucapkan pesan-pesan tertentu yang ingin disampaikan. Oleh karena itu digunakan cara yang lain untuk mengekspresikan perasaannya. Sehingga dengan demikian, pesan makna yang terkandung dalam suatu folklor dapat dengan jelas tersampaikan dengan melalui tradisi oral karena tradisi oral akan disertai juga dengan gerakan-gerakan kinetis.
Folklor merupakan suatu gejala sosial dan budaya yang terkait dengan identitas sekelompok sosial manusia dalam menjelaskan kedudukannya di dunia ini, sehingga keberlanjutan dari pedoman dalam mengatur tingkah lakunya dapat secara ajeg dipertahankan karena budaya bersifat tradisi sehingga harus tetap. Dengan sifatnya yang tradisional tersebut maka banyak para ahli folklor yang salah mengartikan dari kata folk itu sendiri.
Definisi-definisi folklor lebih banyak didasari pada folk itu sendiri bila dibandingkan dengan lore yang jarang diperhatikan dan dianggap kurang menarik. Penggunaan istilah folk itu sendiri banyak yang mendefinisikannya secara berbeda-beda dan pada masa sekarang tidak hanya orang awam saja tetapi masih banyak terdapat para ahli folklor yang melakukan bisa dianggap sebagai suatu kesalahan dalam mengidentifikasi folk dengan mengacu pada aktivitas dan identitas petani atau kelompok sosial yang tinggal di pedesaan saja. Apabila demikian adanya istilah folk ditempatkan, maka bagi penduduk perkotaan adalah bukan dianggap sebagai folk, sehingga sebagai akibatnya, orang-orang perkotaan tidak akan mungkin mempunyai folklor.
Dipihak lain, ada pengertian bahwa folklor yang ada dan berkembang pada dasarnya dihasilkan oleh penduduk pada masa lalu dan folklor tersebut masih berkembang pada masa sekarang serta masih hidup secara berkelanjutan. Mengikuti pandangan yang seperti ini maka dalam kenyataannya tidak akan pernah ada yang namanya folklor baru, dan yang ada adalah bahwa folklor lama akan berangsur menjadi hilang dan punah atau terjadi penambahan makna sehingga tidak kentara lagi keasliannya. Atau pada dasarnya bentuk-bentuk folklor pada masa sekarang menjadi berubah fungsi dan umumnya sebagai suatu kesenian yang menarik atau tidaknya tergantung dari manajemen pementasan yang digelar. 
Pengertian-pengertian itu semua dapat saja dimungkinkan. Untuk mendefinisikan antara folk dan lore dalam satu contoh yang dapat dimengerti bagi orang awam adalah bahwa folk mengacu pada sebuah kelompok dari masyarakat mana saja yang membagi paling tidak faktor yang diistilahkan sebagai umum. Tidak terbatas pada apa yang terkait dengannya, bisa terdapat pada pekerjaan, bahasa, atau agama. Yang menjadi penting adalah bahwa kelompok sosial dapat terjadi atau terbentuk apapun alasannya dan yang menjadi penting sebagai dasar adalah bahwa kelompok sosial mempunyai identitas khusus yang menjadi tradisi. 
Mengikuti teori kelompok dinyatakan bahwa kelompok dapat terjadi apabila anggotanya terdiri dari lebih dari dua orang, bahkan untuk kasus-kasus umum sebuah kelompok bisa terdiri dari banyak orang. Maka folk mempunyai makna sebagai kumpulan beberapa orang dan yang jelas kumpulan orang yang mempunyai struktur sosial serta berinteraksi satu sama lain sebagai bentuk komuniti, mengapa harus berinteraksi satu sama lain dan harus mempunyai aturan dalam struktur sosial yang ada dan dibentuk?. Masalahnya adalah ada juga kumpulan beberapa orang tetapi tidak berinteraksi atau tidak mempunyai struktur sosial tertentu yang menempatkan dirinya berbeda dengan orang lain dalam suatu status tertentu yang berlaku, sehingga kumpulan orang yang demikian tersebut bukanlah folk, seperti kerumunan orang yang sedang mendengarkan celoteh seorang tukang obat keliling yang membuka lapak di pinggiran jalan atau di pasar.
Kesemua anggota kelompok bisa jadi tidak tahu anggota kelompok lainnya, akan tetapi masing-masing individu akan tahu apa saja yang menjadi inti dari tradisi yang menjadi identitas dari kelompok yang bersangkutan. Masing-masing kelompok mempunyai lingkungan sendiri-sendiri dan pada umumnya apabila jenis kelompoknya sama maka lingkungannyapun dapat dikatakan sama atau mirip. Jadi misalnya apabila terdapat kelompok pedagang kaki lima di sebuah pasar maka kelompok tersebut akan menghasilkan folklor tentang pedagang kaki lima seperti misalnya tentang ejekan (joke), dan pastinya akan terdapat ejekan tentang polisi pamong praja yang sering menjadi ancaman bagi aktivitas mereka; pada pekerja pembuat rel kereta api maka yang dihasilkan adalah folklor tentang pekerja kereta api, kelompok pekerja kereta api dimanapun tempatnya akan mudah dipahami pasti mempunyai lingkungan yang sama atau mirip, sehingga folklor yang dihasilkannya akan juga mempunyai kemiripan satu dengan lainnya. Begitu juga dengan kelompok yahudi, negro dst. yang dihasilkan adalah folklor yahudi dan negro. 
Bahkan pada akademi militer dapat tercipta folklor yang berkaitan dengan segala aktivitas yang terdapat di akademi tersebut, misalnya upacara, inisiasi, pranata kesehatan, cerita-cerita, dan juga nyanyian-nyanyian yang dihasilkan oleh kelompok yang bersangkutan. Pada kehidupan kelompok-kelompok kecil diperkotaan banyak terdapat folklor yang tercipta dari suasana dan lingkungan yang dihadapinya sehari-hari seperti istilah-istilah yang isinya adalah memprotes pemerintah, seperti bulan puasa jangan minum Es Beye, atau jangan makan Sup Kala dan Soto Yoso dan sebagainya. Beberapa bentuk teka-teki yang tersebar dalam komuniti atau bahkan masyarakat yang biasanya jawaban dari teka-teki tersebut berkisar dari keadaan sosial masyarakat pada masa itu. 
Atau istilah-istilah untuk menggantikan istilah status tertentu, dan biasanya berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan atau binatang-binatang tertentu yang pastinya berkenaan dengan lingkungan yang ada seperti anak singkong, tua-tua keladi yang jelas-jelas berkaitan dengan sifat dari tumbuh-tumbuhan; kemudian berkaitan dengan binatang ular berkepala dua, kambing hitam, lipan, kelinci percobaan, tikus kantor, kucing garong, buaya darat dan sebagainya. Kesemuanya tersebut terkait dengan aktivitas yang dimunculkan oleh individu-individu tertentu sehingga dimanivestasikan dalam bentuk tumbuhan atau hewan tertentu.
Bahkan pada kelompok-kelompok yang paling kecilpun terdapat folklor, seperti pada keluarga yang mempunyai aktivitas khusus yang hanya diketahui oleh anggota keluarga tersebut, seperti memanggil anggotanya dengan siulan pada suatu kerumunan, atau istilah-istilah tertentu untuk orang yang mempunyai gigi kecil-kecil (misalnya gigi tikus dst). Kemudian juga ejekan-ejekan diantara anak-anak tentang orang tuanya atau istilah untuk anak cantik, anak nakal dan sebagainya yang umumnya mengacu pada binatang baik wujud atau perilaku binatang yang menjadi acuan tersebut, misalnya untuk kancil apabila cerdik, untuk kura-kura apabila lambat, untuk jerapah apabila tinggi, untuk gajah apabila besar dan berat, dan seterusnya.
Itu sebabnya banyak ahli folklor meneliti tentang masyarakat-masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu dengan sukubangsa tertentu sebagai gambaran masyarakat di wilayah yang bersangkutan, seperti orang Sunda di Jawa Barat, masyarakat Gayo di Nangroe Aceh Darussalam, masyarakat Aborigin di Australia atau masyarakat Indian di Amerika di satu pihak, dan ada juga yang meneliti organisasi pekerja pabrik atau kelompok Tukang Ojeg di Bandung di pihak lainnya, masing-masing kelompok sosial tersebut mempunyai folklornya sendiri-sendiri baik itu sebagai sebuah etnik group seperti masyarakat Gayo atau Indian atau sebagai sebuah kelompok sosial seperti kelompok tukang ojeg di terminal Dago di Bandung. Sehingga kemudian muncul beberapa permasalahan seperti batas kebudayaan (culture area) dan kebudayaan itu sendiri, atau sebagai batas kebudayaan dan sering diartikan sebagai batas sukubangsa sedangkan kebudayaan terkait dengan komuniti dari pendukung kebudayaan yang bersangkutan, misalnya kebudayaan komuniti tukang becak, kebudayaan komuniti kelas atas tertentu dan seterusnya.
Dari kesemua penjabaran tersebut serta beberapa contoh dari kemunculan atau penelitian folklor yang dilakukan baik secara sukubangsa maupun secara kelompok kecil dari sebuah komuniti maka masalahnya adalah apa sebenarnya folklor itu?. Hal ini terkait dengan keberadaannya yang sangat menyebar dalam diri individu sebagai anggota masyarakat atau komuniti atau kelompok-kelompok kecil yang berupa keluarga atau band (komuniti berburu meramu).
Disini dijelaskan apa yang dimaksud dengan folklor secara umum dan apa bentuk-bentuk dari folklor tersebut sehingga menjadi jelas kedudukan folklor tersebut. Untuk pemula, definisi folklor dapat dimaksudkan sebagai aktivitas manusia yang berkenaan dengan mitologi, legenda, cerita rakyat, candaan (joke), pepatah, hikayat, ejekan, koor, sumpah, cercaan, celaan, dan juga ucapan-ucapan ketika berpisah dst. Folklor termasuk juga kostum rakyat, tarian rakyat, drama rakyat, seni rakyat, pengobatan rakyat, musik rakyat, keyakinan rakyat, folksong, ucapan-ucapan rakyat, folk etimologi.
Kesemua itu bila dikaitkan dengan kebudayaan maka akan terlihat bahwa folklor merupakan hasil budaya dari suatu masyarakat dengan lingkungan tertentu yang berupa tingkah laku budaya serta benda-benda budaya yang pada dasarnya menggambarkan kebudayaan masyarakat tersebut secara keseluruhan. Hal ini mengacu pada pengertian kebudayaan yang dikemukakan oleh James Spradley yang menyatakan bahwa wujud kebudayaan terdiri dari tiga yang dapat dijabarkan sebagai satu kesatuan (1) pengetahuan budaya (cultural knowledge), (2) tingkah laku budaya (cultural behavior), dan (3) benda-benda budaya (cultural artifact). Kesemua wujud ini saling terkait satu dengan lainnya, akan tetapi untuk sebuah masyarakat mungkin yang akan terlihat jelas keterkaitannya adalah antara pengetahuan budaya dan tingkah laku budaya, sedangkan benda-benda budaya bisa saja berasal dari kelompok lain. 
Dalam hal ini pengetahuan budaya terdapat beberapa simbol yang menggambarkan atau memberi makna kepada lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan, isi dari pengetahuan budaya antara lain norma, moral, nilai dan aturan sebagai perwujudan dari simbol konstitutif, kognitif penilaian dan pengungkapan perasaan sebagai milik masyarakat, yang tentunya mempunyai pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Pengetahuan budaya ini kemudian digunakan untuk memahami lingkungannya dan digunakan secara selektif untuk mendorong terwujudnya bentuk-bentuk tingkah laku budaya.
Tingkah laku budaya dengan demikian akan sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya karena hal-hal yang mendorong terwujudnya tingkah laku budaya adalah karena lingkungannya sehingga bisa diartikan sebagai strategi dalam menghadapi lingkungan. Biasanya dalam mewujudkan tingkah laku budaya manusia akan terikat dengan beberapa tindakan yang sesuai dengan struktur sosial masyarakatnya dan diatur dalam pranata sosial yang mendukungnya sesuai dengan status dan peran yang harus diwujudkannya, sehingga dengan demikian tingkah laku budaya menjadi seperangkat tindakan sosial yang sesuai dengan aturan-aturan dalam pranata sosial yang berlaku.